Seperti yang kita ketahui bersama, gunung
merapi merupakan salah satu gunung yang sangat berbahaya karena menurut
catatan modern, gunung merapi mengalami erupsi (puncak keaktifan)
setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang
sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung merapi sudah meletus sebanyak
kurang lebih 68 kali.
Hingga akhir tahun 2010 Gunung Merapi kembali
meletus dan mengakibatkan ribuan warga mengungsi, ratusan rumah hancur,
serta puluhan orang meninggal dunia, termasuk juru kunci gunung merapi
yaitu Mbah Maridjan. Sejarah asal usul gunung merapi menurut kalangan
penduduk setempat, disana masih mempercayai bahwa Gunung Merapi adalah
penjelmaan dari perubahan Gunung Jamurdipo.
Menurut cerita yang beredar di sana,
sebagaimana diungkapkan Lucas Sasongko Triyoga dalam bukunya, Manusia
Jawa dan Gunung Merapi (Gadjah Mada University Press, 1991), sewaktu
Pulau Jawa diciptakan para desa, keadaannya tidak seimbang. Karena
miring ke barat. Ini disebabkan di ujung barat terdapat Gunung
Jamurdipo.
Atas prakarsa Dewa Krincingwesi, gunung
tersebut dipindahkan ke bagian tengah agar terjadi keseimbangan. Pada
saat yang bersamaan, di tengah Pulau Jawa terdapat dua empu kakak
beradik, yakni Empu Rama dan Permadi. Keduanya tengah membuat keris
pusaka Tanah Jawa. Mereka oleh para dewa telah diperingatkan untuk
memindahkan kegiatannya tetapi keduanya bersikeras. Mereka tetap akan
membuat pusaka di tengah Pulau Jawa. Maka, Dewa Krincingwesi murka.
Gunung Jamurdipo kemudian diangkat dan dijatuhkan tepat di lokasi kedua
empu itu membuat keris pusaka. Kedua empu itu, akhirnya meninggal.
Terkubur hidup-hidup karena kejatuhan Gunung Jamurdipo. Untuk
memperingati peristiwa tersebut, Gunung Jamurdipo kemudian diubah
menjadi Gunung Merapi. Artinya, tempat perapian Empu Rama dan Permadi.
Roh kedua empu itu kemudian menguasai dan menjabat sebagai raja dari
segala makhluk halus yang menempati Gunung Merapi.
Mitos tentang asal-usul Gunung Merapi ini
ternyata juga muncul dengan versi lain di Korijaya. Menurut cerita yang
terjadi di sana, ketika di dunia ini belum terdapat kehidupan manusia
kecuali para dewa di Kahyangan, keadaan dunia pada saat itu tidak
stabil, miring dan tidak seimbang. Batara Guru lantas memerintahkan para
dewa untuk memindahkan Gunung Jamurdipo yang semula terletak di Laut
Selatan, agar Pulau Jawa menjadi seimbang. Gunung itulah yang kemudian
dijadikan batas utara Jogyakarta. Sebelum Batara Guru memerintahkan para
dewa untuk memindahkan gunung itu, Empu Rama dan Permadi diutus membuat
keris pusaka Tanah Jawa. Padahal gunung itu akan dipindahkan di tempat
kegiatannya. Karena kedua empu itu diperintah Batara Guru, tak maulah
mereka pindah dari situ. Sebab, ada sabda pandhita ratu, datan kenging
wola-wali. Artinya, perkataan ratu tidak boleh berubah-ubah atau
plin-plan.
Maka, terjadilah pertempuran. Empu Rama
dan Permadi menang atas dewa-dewa. Mendengar hal itu, Betara Guru lantas
memerintahkan Batara Bayu agar kedua empu itu dihukum. Dikubur
hidup-hidup karena membangkang Jamurdipo. Akhirnya, menurut mitos itu,
Jamurdipo ditiup dari Laut Selatan oleh Batara Bayu dan terbang kemudian
jatuh tepat di atas perapian. Kejadian ini akhirnya mengubur mati kedua
empu yang dinilai pembangkang itu. Karena dipindahkan ke perapian, maka
Gunung Jamurdipo akhirnya dinamakan Gunung Merapi. Kedua empu itu
akhirnya menjadi penguasa makhluk halus yang tinggal di Merapi.
Sesudah peristiwa itu, Barata Narada
diutus Batara Guru untuk memeriksa Gunung Merapi. Ternyata ia menemukan
ular naga yang belum menghadap para dewa karena terhalang air mata
gunung yang bernama Cupumanik. Narada kemudian membawa Cupumanik
menghadap para dewa. Cupumanik yang menyebabkan semuanya jadi terlambat,
akhirnya dihukum mati. Tetapi Batara Guru murka melihat kenyataan,
bahwa Cupumanik menggunakan kesaktiannya sehingga hukuman mati itu tak
membawa hasil.
Oleh Batara Guru tubuh Cupumanik kemudian
diangkat dan dibanting di atas tanduk lembu Andini. Andini adalah
kendaraan pribadi Batara Guru. Tubuh Cupumanik hancur lebur, berantakan
dan dari tubuhnya muncul seorang putrid cantik. Namanya Dewi Luhwati.
Akibat bantingan yang luar biasa itu, salah satu tanduk Andini patah
menjadi dua. Sedang kecantikan Dewi Luhwati membuat Batara Guru
terpesona dan jatuh cinta.
Tentang asal usul nama Merapi ini, menurut Lucas, terdapat versi lain
yang beredar di kalangan abdi dalem khususnya yang melaksanakan upacara
Labuhan ke Merapi. Konon, di bumi telah berdiri beberapa kerajaan yang
saling berperang. Salah satu kerajaan itu, yakni Mamenang, merupakan
kerajaan pemenangnya. Kerajaan itu berada di bawah pimpinan Maharaja
Kusumawicitra.
Waktu itu Resi Sengkala atau Jaka
Sengkala atau Jitsaka— kalangan umum menyebutnya Ajisaka— telah
memberikan nama-nama gunung di seluruh Jawa. Sebelum datang ke Pulau
Jawa, sang resi adalah raja yang bertahta di Kerajaan Sumatri. Karena
kemenangan Maharaja Kusumawicitra itu, maka segala sesuatu yang berada
di bawah kekuasaannya diganti namanya disesuaikan dengan kebudayaan
Mamenang.
Misalnya nama Gunung Candrageni, yang
semua diberi nama Ajisaka, lantas diganti menjadi Gunung Merapi. Begitu
pula dengan Gunung Candramuka, diubah menjadi Gunung Merbabu. Sehingga
kita mengenal nama Gunung Merapi dan Merbabu. Begitu pula dengan Gunung
Wilis, Gunung Sumbing, Gunung Lawu, Gunung Arjuna yang kita kenal
sekarang itu adalah nama-nama yang diberikan oleh Maharaja
Kusumawicitra.
http://www.jurirakyat.com/2013/07/legenda-asal-usul-gunung-merapi.html
0 komentar:
Posting Komentar